DP2KBP3A Inhil Paparkan Peran Keluarga Cegah Stunting

Rabu, 29 Juni 2022

INHIL,- Selama ini mengenal keluarga adalah sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Secara eksplisit pengertian ini tercantum dalam Bab 1 Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga maupun pada Peraturan Pemerintah No 87 Tahun 2014 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana dan Sistem Informasi Keluarga dalam bab, pasal dan ayat yang sama.

Dari pengertian tersebut, keluarga dipandang sebagai kesatuan yang terkecil di dalam masyarakat yang berperan sebagai tempat bernaung dan penggantungan hidup anggota-anggotanya. Keluarga juga merupakan sekumpulan orang dalam satu kesatuan atau unit yang mengelompok dan hidup bersama untuk jangka waktu relatif lama dan berlangsung terus. Oleh karena itu, suatu keluarga biasanya diikat oleh perkawinan dan hubungan darah. Keluarga selalu menempati kedudukan yang primer dan fundamental. Ini berarti keluarga memiliki peranan yang besar dan vital dalam mempengaruhi kehidupan maupun kepribadian anggota-anggotanya terutama anak.

Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Kabupaten Inhil melalui Kabid KB Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga  Asril mengatakan kehidupan berkeluarga itu mengandung makna disamping untuk memenuhi dan menyalurkan hasrat biologis dan kebutuhan emosional, juga untuk memberikan kesempatan bersosialisasi para anggotanya, khususnya bagi anak-anak. Sehingga dalam konteks yang nyata, karena mereka saling berhubungan, berinteraksi sekaligus saling mempengaruhi, keluarga akan selalu dinamis dan peka terhadap lingkungannya. Karena itu pula, keluarga sebagai suatu kelompok sosial tidak dapat hidup menyendiri dalam situasi vakum, melainkan harus selalu berada di tengah atau setidak-tidaknya bertautan dengan suatu kehidupan sosial bersama budayanya.

"Mengingat keluarga merupakan unit  masyarakat kecil yang selalu berdiri dalam konteks budaya tertentu, maka keluarga sebagai unit yang berkedudukan strategis, secara aktif keluarga akan selalu menyerap pengaruh subkultur kelompoknya dan kebudayaan masyarakat sekitarnya. Mulai dari pola pikir, adat dan kebiasaan, selera, kesenangan dan ketidaksenangan, sampai dengan perilaku, bahasa, cara bicara dan hobby. Karena itu pula, guna mengenali kebudayaan suatu daerah, secara sepintas cukup dengan melihat pola hidup berkeluarga di wilayah yang bersangkutan. Dengan kata lain kebudayaan keluarga dapat dijadikan cermin kebudayaan masyarakatnya," ujarnya.

Ia menuturkan, dari keluarga inilah akan dilahirkan individu dengan beragam bentuk kepribadiannya. Hal ini dapat dipahami karena keluarga memiliki peranan penting sebagai tempat penyemaian, sosialisasi dan internalisasi pertama terhadap nilai-nilai aspek kehidupan. Sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kekuatan dan ketahanan, sehingga dapat membentuk masyarakat yang kuat dalam menghadapi segala permasalahan dan tantangan yang ada. Terlebih dalam situasi sekarang ini, dimana kita sedang memasuki masa transisi antara Pandemi Covid-19 menuju Era Adaptasi Kebiasaan Baru, peran keluarga sangat penting sebagai hulu dari pembentukan karakter anak bangsa.

"Keluarga yang baik akan melahirkan putra-putri berkualitas baik yang tentunya menjadi penopang bangsa dan negara. Dengan demikian,  kualitas generasi di masa datang ditentukan oleh kualitas keluarga kita saat ini. Peran keluarga menjadi semakin penting saat bangsa kita menghadapi permasalahan yang cukup serius dan menjadi perhatian kita semua, yaitu kasus stunting yang angkanya masih cukup tinggi," tuturnya.

Asril memaparkan, saat ini, dari total kelahiran 5 juta bayi selama setahun, 1,2 juta di antaranya dalam kondisi kurang gizi kronis atau stunting. Data Survei Status Gizi Balita Indonesia Tahun 2019, menyebutkan bahwa angka stunting berada pada 27,67 persen. Angka tersebut disebabkan berbagai faktor kekurangan gizi pada bayi. Karena 29 persen dari 5 juta tersebut dilahirkan belum waktunya maka ukurannya pun belum cukup untuk lahir. Tidak hanya itu, angka stunting di Indonesia juga ditambah dari bayi yang terlahir normal akan tetapi tumbuh dengan kekurangan asupan gizi sehingga menjadi stunting. Artinya, resiko stunting bisa muncul saat kehamilan, juga dari bayi lahir normal, namun mengalami kekurangan asupan gizi.

"Stunting sendiri dimaknai sebagai masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya. Stunting pada anak dapat mempengaruhi tumbuh kembangnya mulai dari kecil hingga dewasa. Dalam jangka pendek, stunting  dapat menyebabkan terganggunya perkembangan otak, metabolisme tubuh, dan pertumbuhan fisik," paparnya.

Kabid KB Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga ini juga mengatakan, seiring dengan bertambahnya usia, stunting dapat menyebabkan kecerdasan anak di bawah rata-rata sehingga prestasi belajarnya tidak bisa maksimal, sistem imun tubuh anak tidak baik sehingga anak mudah sakit dan anak akan lebih tinggi berisiko menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, dan kanker. Selain itu stunting juga memiliki potensi untuk menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara sebesar 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun. Dengan PDB Indonesia Rp 13.000 triliun pada 2017, maka diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp 300 triliun.

"Tanpa ada upaya optimal pencegahan stunting, BKKBN memprediksi, di tahun 2024 Indonesia akan memiliki 24,35 juta balita stunting, dengan prediksi ada penambahan kasus 4,85 juta di tahun 2022,  4,9 juta di tahun 2023 dan 5 juta di tahun 2024. Sementara pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 mentargetkan di tahun 2024 maksimal hanya ada 14% kasus stunting atau hanya 3,409 juta balita stunting. Tentu ini menjadi tugas besar BKKBN yang ditunjuk Presiden RI sebagai Ketua Pelaksanaan Percepatan Program Penurunan Stunting di Indonesia," jelasnya.

Penetapan itu disampaikan Presiden secara langsung dan lisan kepada Kepala BKKBN, Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) saat dipanggil ke Istana Negara, beberapa waktu lalu. Penunjukan BKKBN ini di antaranya didasari pertimbangan kemampuan "dobrak" di mana lembaga ini memiliki "pasukan" lapangan yang terbilang cukup banyak. Mencapai 14 ribu Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) dari unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 10 ribu petugas non-ASN.

Menurut Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Dr. Ir. Dwi Listyawardani, M.Sc, Dip.Com, menindak lanjuti keputusan tersebut, jajaran BKKBN telah melakukan serangkaian pertemuan, di antaranya dengan jajaran Kantor Wakil Presiden dan Kementerian Keuangan. Hal ini mengingat, dalam penanganan stunting, BKKBN menjadi koordinator yang diarahkan di tingkat lapangan, Ditambahkan oleh Dwi Listyawardani, nantinya BKKBN akan lebih fokus menggarap kegiatan penanggulangan stunting yang belum sepenuhnya tersentuh. Gap yang belum terselesaikan, akan menjadi perhatian. Terutama mendampingi remaja, dan juga keluarga. Ketika melakukan pendampingan, petugas BKKBN akan memastikan bahwa kehamilan itu adalah benar-benar kehamilan yang direncanakan. Sehingga akan lahir anak yang sehat. Dengan pendampingan ini, diharapkan tidak ada lagi ibu yang memiliki risiko melahirkan anak yang tidak sehat yang berisiko stunting.

Saat ini, realita menunjukkan bahwa 30-35 persen kasus stunting pada anak dilahirkan oleh wanita yang menikah di usia muda. Sehingga BKKBN akan menguatkan anjurannya pada para remaja untuk menikah di usia minimal 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria agar dapat melahirkan anak yang sehat. Penyebab stunting lainnya adalah jarak kelahiran. Dalam berbagai penelitian, ada korelasi kuat antara jarak kelahiran dan stunting. Untuk itu, BKKBN juga akan mengajak keluarga untuk menjaga jarak kelahiran minimal tiga tahun antar satu anak dengan anak berikutnya. Selain itu BKKBN akan terus mengingatkan mengingatkan agar para ibu memperhatikan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Suatu periode kehidupan bayi sejak dalam kandungan hingga dua tahun menyusui.

Dalam rangka menumbuhkan kesadaran bahwa stunting memiliki potensi sebagai ancaman dalam mewujudkan generasi berkualitas, maka peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-28 Tahun 2021 yang jatuh pada tanggal 29 Juni 2021 mengambil tema Keluarga Keren Cegah Stunting. Harapannya, momentum Harganas menjadi saat yang tepat bagi seluruh keluarga untuk mulai berbenah memperbaiki diri serta menyatukan semangat untuk bangkit mencegah stunting melalui praktek pengasuhan yang baik, terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Orangtua (terutama Ibu) harus berupaya agar memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan dan gizi sehingga mampu memberikan layanan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dengan harapan, mereka  kelak  dapat menjadi generasi yang unggul dan berkualitas.

Hal lain yang harus diingat keluarga terkait dengan upaya pencegahan stunting adalah anak jangan sampai kekurangan Air Susu Ibu (ASI), jangan pula sampai kurang gizi sehingga akan terwujud generasi kualitas tinggi yakni generasi yang sehat, cerdas, dan mandiri. Terkait dengan hal tersebut, semua anggota keluarga harus terlibat, peduli dan berpartisipasi agar kasus stunting tidak lagi ada di negeri ini.  Dalam mencegah kasus stunting maka keluarga juga harus berperan pula  untuk mencegah nikah dini dan hamil di usia muda (kurang dari 21 tahun). Juga harus menjaga jarak anak dalam rentang waktu minimal 3-4 tahun.