Energi Syahadat untuk Pembebasan dan Pembangunan

Rabu, 13 Mei 2020

Ahmad Tamimi

Indragirione.com,- Kalimah syahadat yang terdiri dari syahadat Tauhid dan syahadat Rasul merupakan dua kalimah yang berisi pengakuan atas ke-Esa-an Allah serta ke-Rasulan Muhammad SAW sebagai Nabi penutup. Sejak kecilpun kita sering diajarkan kedua orang tua tentang kalimah ini, sehingga kini tidak lagi asing di telinga. Namun, dapat diakui bahwa terdapat sedikit kelemahan, yaitu para orang tua hanya cenderung mengajarkan lafal kalimah tanpa mengajak kita untuk memahami secara dalam tentang pemaknaannya, sehingga syahadat yang dihafal dan dipahami sejak kecil hingga dewasa tidak begitu kuat membumi di jiwa. Andaikan lafal dan pemaknaan syahadat ini benar-benar berhasil dibumikan di setiap lisan, pikiran, hati serta perbuatan para generasi, maka, akan dapat diyakini bahwa generasi yang ada hari ini adalah akan tergolong menjadi generasi Tauhid yaitu yang kuat terutama dalam menghadapi kenyataan hidup yang serba kompleks, kenapa begitu ?.
Syahadat mengandung nilai iman terhadap Allah dan Rasul sebagai manusia utusan-Nya. Nilai keimanan ini merupakan pegangan bagi setiap individu dalam hidupnya. 


Tanpa keyakinan yang kokoh, seseorang akan mudah goyah terutama dalam menghadapi sapaan bujuk rayu dunia yang penuh dengan permainan dan senda gurau. Oleh karena itu, nilai keimanan yang terkandung dalam pesan syahadat merupakan energy, orientasi sekaligus jaminan bagi manusia dalam hidup dan menjalankan fungsiny sebagai khalifah di bumi.

 

Jaminan dalam arti; syahadat sebagai haluan yang menetukan dimana, kemana dan bagaimana selayaknya kita itu akan hidup di bumi Allah ini. Sehingga prosesi kehidupan yang dijalani tidak berlawan arah dari fitrah ke-Tuhanan. Sebab, salah kaprah dalam hidup bukan hanya dapat melawan Pencipta, tapi juga melawan firah manusia sebagai makhluk yang cenderung tunduk dan patuh (al-istislam) pada Sang Penciptanya. Hal ini juga telah dinyatakan dalam Qs. Al-A’raf 172; bahwa setiap manusia mengakui dan berkomitmen akan keberadaan, ke-Esaan, serta kebenaran Allah SWT. Oleh karena itu, ketimpangan tauhid justru akan menjadi bencana bagi manusia itu sendiri, terutama bagi manusia modern yang sedang berhadapan dengan proyek modernisme yang serba materialis. 


Dengan demikian mereka bukan hanya kehilangan arah, tapi juga tanpak bingung dengan warna-warni yang ada. Barangkali kita pun sering menyaksikan orang-orang yang hidupnya sudah berlebihan dengan kemewahan materi ditambah lagi ketinggian jabatan. Tapi, karena hidup tidak punya pegangan terhadap keyakinan yang kokoh, maka, kondisi ini justru menciptakan suasana gundah, resah tanpa arah. Minimal kegelisahan yang dialami adalah takut kekurangan harta, kehilangan jabatan hingga takut pada kematian. 


Inilah sesungguhnya cara pandang yang membelenggu diri tanpa pegangan hidup berupa nilai-nilai imani. 
Oleh karenanya dalam pembahasan sebelumnya saya katakana bahwa, tidak ada manusia yang mampu hidup tanpa pegangan iman terhadap sesuatu yang ia pandang Maha besar, Maha hebat. Jadi, saat ini yang menjadi pokok pikiran bukan lagi soal beriman atau tidak beriman, tapi bagaimana potensi iman yang dititipkan itu terus dikuatkan sehingga diri dapat menjadikan iman atau nilai-nilai keimanan itu sebagai pondasi kokoh sekaligus solusi pembebas di kehidupan serba modern yang cenderung membelenggu diri ini.

 

Pada pembahasan ini ada satu poin penting yang ingin saya sampaikan bahwa kalimah syahadat merupakan kalimah pembebasan bagi manusia khususunya bagi muslim. Perhatikanlah kalimat syahadat yang kita ucapkan: Asyhadu al-la ilaha illa Allah. Kalimat ini dimulai dengan kata Asyhadu (saya bersaksi). Ketika anda berkata “saya”, maka anda menyadari bahwa anda mempunyai wujud pribadi yang berbeda dengan orang lain.

 Namun demikian, dalam saat yang sama anda menyadari pula ada pihak lain bersama anda yang mendengar atau yang kepadanya anda memperdengarkan kesaksian itu. Kesaksian itu dimulai dengan pengingkaran la Ilah (tiada tuhan) kemudia disusul dengan penetapan illa Allah (kecuali Allah). (dalam Quraish Shihab, 117: 2008)
Segala sesuatu yang kita pandang indah, hebat serta tinggi adalah bagian dari penisbian itu. Terlebih keberadaan hal tersebut di dunia nyata, maka dapat dipastikan bahwa ini adalah tergolong makhluk yang terbatas (baharu) diciptakan, yang akan sirna oleh perjalanan hukum ruang dan waktu. 


Oleh karena itu, dalam hidup ini jika seseorang menjadikan keindahan, kehebatan serta ketinggian posisi serta materi yang terkandung di dalamnya sebagai ukuran dominan, maka bersiap-siaplah untuk dibelenggu olehnya. Dalam istilah al-Qur’an inilah yang disebut dengan taghut, yaitu sesuatu yang dianggap tuhan lalu dipertuhankan (tergantung padanya). Jadi, esensi syahadat adalah untuk membebaskan manusia dari kungkungan taghut-taghut itu.
Begitu juga dengan persoalan lainnya, apakah itu terkait dengan ekonomi, politik maupun sosial. Dalam kaitannya dengan politik misalnya, ketika ada rasa gundah dan  cemas akan hilang atau turunnya jabatan, ini akan damai jika digunakan paradigma ke-Tuhanan.

 

 Termasuk soal sosial, dalam peroslan sosial kadang kita sulit beradaptasi dengan perbedaan terlebih perbedaan itu sangat jauh dari ukuran kebiasaan kita. Kalau tidak pandai dalam menyikapi, hal ini akan menjadikan kita mati dalam keramaian bahkan memunculkan potensi disintegrasi sosial karena sulit untuk memahami akan keadaan serta perbedaan yang ada.


 
Namun, apabila kita menggunakan paradigma syahadat sebagai titik sandar, bahwa Allah maha kuasa dan kaya yang menciptakan begitu banyak jenis perbedaan termasuk suku dan etnis. Kini, aku yakini bahwa ini semua adalah realitas-Ilahiyyah yang tidak bisa terelakkan, sikapku yang sangat mungkin adalah menerima keberadaannya dengan segala yang bisa aku pahami dan mengerti sejauh tidak melanggar nilai-nilai ke-tuhanan tadi. Dengan demikian hati akan lega. Jadi, ketika kita mengajak diri untuk mendialogkan segala sesuatu atas nama Allah, ini bukan hanya mendamaikan hati tapi juga akan menjadi titik temu perbedaan atas kenyataan yang ada.

 


Puncak dari pemahaman ini sekaligus dapat memberi efek positif bagi kehidupan sosial terlebih bernegara yang penuh dengan kebinnekaan (hablumminannas). Karena bertauhid sesungguhnya bukanlah hanya berdimensi pada persoalan ketuhanan (hablumminallah) semata, tapi juga berdimensi pada kemanusiaan. Artinya nilai-nilai tahuhid dapat digunakan untuk kerjasama antar manusia untuk pembangunan. Tentu kita tidak bisa membayangkan jika sesama makhluk terutaman manusia yang diciptakan beragam suku bangsa ini, lalu masing-masingnya tidak saling mengakui keberadaannya. Maka, Paham ini tentu menjadikan hidup akan sibuk penuh dengan pertikaian. Oleh karena itu paham syahadah menjadi pondasi dasar bagi pembangunan di segala bidangnya.

 


Kalau kita analisa lebih realistis bahwa nilai-nilai syahadat ini telah dalam memberikan kontribusi terhadap kelansungan paham demokrasi Indonesia yang kita anut selama ini terutama tentang paham kesamaan antar manusia. Ini juga yang diijtihatkan seorang Nurcholish Madjid, yaitu sebuah upaya menginterrelasikan nilai-nilai tauhid dan keagamaan dengan realitas ke-Indonesiaan sehingga agama menjadi ramah lingkungan. Nilai-nilai ini tentu bila dibicarakan dalam kehidupan yang lebih teknis dalam keseharian, maka akan terus dapat memberi nilai manfaat dalam bentuk turunan bahwa setiap manusia harus mengakui kesamaan derajat, jujur dan adil dalam bersikap karena semuanya telah merasa diciptakan dan diawasi oleh sang penciptanya. Oleh karena itu, syahadat harus terus bumikan di ranah jiwa dan ke-Indonesiaan untuk kemajuan pembangunan.