Menghargai Daulat Rakyat di Pemilu

Rabu, 10 Agustus 2022

Pemilu adalah sarana kedaulatan untuk memilih memimpin dan wakil secara lansung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Pada proses ini, rakyat sang pemilik kedaulatan menyerahkan mandatnya kepada segelintir orang sebagai tempat berwakil mengurusi segala hal terkait dengan kemaslahatan, baik di tingkat pusat maupun daerah, di lembaga legislatif maupun eksekutif, untuk menjalankan kekuasaan.

Hal senada juga telah dijelaskan oleh Abraham lincoln bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan kata lain, saat pemilu itulah kuasa absolut rakyat dalam mengejewantahkan kekuasaannya, pada proses ini orientasi dibalik kekuasan lewat proses pemilihan adalah tentu rakyat menginginkan negara dan segala kepentingan rakyat dapat perhatian secara baik. Oleh karena itu amanat yang ditumpangkan sebagai tempat rakyat berwakil mestinya oleh orang-orang baik dan berkualitas pula sebagai penerima mandat.

Meminjam istilah Titi Anggraini; rakyat bisa menjadi pemilih yang berdaya, empower, semestinya bisa kita wujudkan. Yang mana, dengan kekuasaannya rakyat dapat menentukan siapa yang dianggap layak untuk diserahkan mandat kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, kualitas pemimpin atau wakil adalah representasi dari kualitas rakyatnya, begitu juga sebaliknya bahwa kualitas rakyat juga menjadi gambaran dari kualitas pemimpinnya, karena masing-masingnya adalah menjadi bagian dari siklus yang saling memproduksi. 

Maka ketika rakyat mengatakan pemimpinnya tidak berkualitas, sama saja seperti kata pepatah bak menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Bukan berarti pemimpin tidak boleh di kritik, akan tetapi maksudnya rakyat juga mesti mawas diri, mengevaluasi cara dalam memilih sehingga kinerja kepemimpinan atau wakil yang sedang berjalan dapat dianggap tidak sesuai harapan. Boleh jadi saat memilih tidak mengedepankan ukuran nurani dan akal sehat. 

Oleh karena itu, siklus lima tahunan Pemilu dapat jadi momentum untuk merenung, sekaligus mengevaluasi menggunakan mekanisme reward and punishment. Dimana titik lemah selaku pemegang kekuasaan tertinggi dapat memberikan penghargaan (reward) kepada mereka yg dianggap berhasil dengan cara memilihnya kembali, dan menjatuhkan hukuman (punishment) kepada yg dianggap gagal dengan tidak memilihnya lagi. Dianara jalan untuk merubah perilaku pemimpin adalah dengan merubah perilaku pemilih, yaitu menjadi Pemilih berdaya (empower).

Sebagian masyarakat secara pragmatis ingin menerima hasil dari pilihannya secara instan, namun saya meyakini nurani terdalam mengharapkan terpilihnya pemimpin yg ideal dan berfungsi menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu saya mengajak segenap masyarakat pemilih untuk mengaktifkan nurani dan akal sehat, menunda kesenangan sesaat, berpuasa dari rayuan materi yang dapat menggagalkan lahirnya pemimpin atau wakil harapan semua. 

Caranya bagaimana? Hindari segala sogok dan suap sebagai barang tukaran dengan pundi suara. Hargai negara yang telah menghargai keberadaan setiap kita dengan melimpahkan daulatnya pada setiap diri, tanpa memandang ukuran status dimana nilai suaranya sama untuk semua. Maka, menghargai pemberian amanat daulat itu sebenarnya sama dengan menghargai diri sendiri yang sekaligus dibuktikan melalui partisipasi pada pilihan terbaik sesuai dengan nurani dan akal sehat pada saat pemilihan. 

Bila paradigma ini ditanam pada setiap diri masyarakat, maka peluang perubahan dan kemajuan akan lebih mungikin segera kita dapatkan, karena pola ini dapat memberi ruang lebih untuk lahir dan tampilnya sosok-sosok yang berkualitas menjadi ukuran prioritas ketimbang sosok yang memainkan pesona dengan ukuran materi yang justru akan dapat merusak sendi amanat dan demokrasi sekaligus berujung pada kerusakan tatanan masyarakat itu sendiri, kenapa? Karena politik dan kekuasaan adalah muara kebijakan di segala aspek kehidupan. Maka jagalah !!!, jagan sampai posisi muliah ini dirusak oleh sikap dan cara pikir kita sendiri. Oleh karenanya kedepan pastikan setiap kita yang telah memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih, kemudian berikan pilihan terbaik untuk kebaikan semua. 

Pada saat yang sama kita juga tentu berharap pada setiap peserta pemilu untuk berkomitmen menghindari pola transaksional dalam mencari dukungan suara, sebagai calon pemimpin atau wakil berikan edukasi politik yang berkualitas pada rakyat. Karena menggunakan pola transaksional untuk mendapatkan pundi suara merupakan indikasi mental korup. 

Termasuk paradigma masyarakat yang selalu diutarakan bahwa "Kami tidak butuh janji, tapi kami mau bukti". Dari  ungkapan ini, saya ingin mengingatkan agar kita lebih berhati-hati, jangan terus memelihara prilaku sogok yang sangat tidak bermoral. Kalaulah yang diharapkan dari pernyataan ini adalah calon harus memberikan  materi sebagai alasan untuk memilihnya, maka sama saja kita merelakan mereka untuk berperilaku korup ketika terpilih nanti. Maka ukuran terbaik dalam memilih adalah kemampuan pengetahuan dan sikapnya sehingga benar dapat kita yakini ia mampu jalankan amanat untuk kepentingan orang banyak.