Pada Akhirnya Semua Akan Urbanisasi ke Kota

Selasa, 13 April 2021

Oleh: M Arfah

Indragirione.com,- Saya ingat betul awal-awal kelas dua SMP beberapa tahun yang lalu, sering sekali mendengar kosakata urbanisasi. Meski pada waktu itu tidak sepenuhnya memahami dengan jelas makna kata tersebut. Belakangan barulah menyadari arti sesungguhnya urbanisasi itu setelah menjadi bagian daripada kosakata itu.

Kecenderungannya memang saat orang akan lebih memilih hijrah ke kota di banding tetap bertahan hidup di desa. Bahkan di kampung saya hampir tidak ditemukan lagi para pemuda yang berusia produktif tinggal di desa. Semua berterbangan ke kota mencari penghasilan yang dirasa cukup.

Setelah saya melakukan penelitian secara diam-diam, dapat ditarik benang merahnya bahwa kebanyakan masyarakat di desa melihat orang yang hidup di kota itu sebagai simbol kesejahteraan. Hidup dengan kenyamanan, tanpa berpanas-panasan, kerja dibalik meja. Itulah salah satu yang melatarbelakangi hijrahnya masyarakat desa ke kota.

Sementara itu masih banyak yang beranggapan bahwa masyarakat desa itu penuh dengan serba keterbelakangan, bodoh, kolot dan kurang pergaulan. Nah, pemikiran seperti ini sudah mendominasi di masyarakat pedesaan, sehingga terkadang dianggap sebagai pembenaran. Anda bisa mengatakan ketidak-setujuan  akan hal ini tapi suara kebanyakan ya, seperti itu.

Sehingga kemudian orang cenderung akan berfikiran pragmatis. "Biarlah saya kerja berat di kampung, asal nanti anak-anak saya tidak mengikuti jejak saya."

Langkah selanjutnya sudah pasti bisa ditebak yaitu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Dengan harapan bekal sekolah yang tinggi itu akan mudah bekerja di kota, bisa berdasi, pakai mobil mewah, kelihatan borijus. Persis seperti tayangan televisi yang setiap hari mereka konsumsi.

Mungkin ini juga yang sedikit punya pengaruh terhadap kurang diminatinya fakultas pertanian dan perkebunan. Bisa dibilang fakultas ini seakan dianak tirikan, kalaupun ada lulusannya ya akan tetap kerja di kota bukan kemudian balik ke kampung menjadi petani.

"Lihat itu tetangga sebelah, cuman tamatan SD, tapi sudah sukses di kota. Kontrakanya sudah banyak, punya mobil juga. Bahkan sudah banyak orang kampung di sini yang ikut kerja sama dia. Tahun depan malah mau sudah memberangkatkan orang tuanya ke tanah suci. Sudah kamu ke kota saja  merantau ketimbang di kampung ini."

***

Jakarta dan beberapa kota-kota besar pada umumnya merupakan tujuan utama urbanisasi saat ini. Terkhusus Jakarta sebagai kota megapolitan, kota industri menjadi tempat berkumpulnya hampir seluruh etnis yang ada di Indonesia. Banyak yang mengatakan Jakarta itu miniaturnya Indonesia. Karena hampir seluruh suku ada di ibukota negara ini.

Hampir setiap tahun ada (biasanya setelah lebaran) saja orang yang datang ke Jakarta. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu orang setiap tahunnya. Itu yang hanya bisa di data. Tentu yang tak masuk data juga banyak. Magnet Jakarta masih seperti gula yang selalu dikerumuni semut. Maka orang akan berbondong-bondong ke sana tentu dengan pengharapan akan ada perbaikan nasib.


Persoalan nanti mau berbuat apa di kota dan bagaimana cara agar sukses seperti (gambaran waktu di desa) itu tidak terlalu dipusingkan. Yang penting ke kota saja dulu, mengadu nasib, sambil terus berjuang. Inilah yang membuat Pemerintah di kota-kota besar selalu menghimbau kepada siapa saja yang ingin berangkat ke kota menyiapkan skill terlebih dahulu baru kemudian hijrah ke kota. Tidak asal modal nekat saja.

Dengan modal nekat inilah kemudian biasanya akan menimbulkan persoalan baru, yaitu pengangguran. Dan inilah juga yang menjadi masalah-masalah utama di setiap kota yang di Indonesia yakni tingginya angka pengangguran, selain juga masalah banjir dan ketimpangan sosial.

Celakanya lagi, bagi yang sudah menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi malah lebih memilih mencari penghidupan di kota dan bekerja di sana. Padahal bisa saja ilmu yang sudah didapat itu diimplementasikan di kampungnya. "Ah, sangat susah sekarang mencari sarjana yang mau kerja di desa,". Kata teman saya pada satu kesempatan.

Saya kemudian bisa memaklumi fenomena hijrahnya masyarakat desa ke kota. Karena minimnya pilihan pekerjaan yang ada di desa. Selain jadi petani, yang hanya bisa dilakukan adalah menjadi nelayan. Pilihan pragmatis menjadi ASN memegang masih terbuka lebar tapi peminatnya sangat banyak. Bahkan bisa-bisa kita akan bersaing dengan guru yang pernah mendidik kita.

Pernah ada teman mencoba menjadi seorang pengusaha muda, berbekal dari pengalamannya mengikuti sebuah seminar di kota. Tapi malang begitu cepat menghampiri belum genap dua bulan usaha teman saya itu mengalami kebangkrutan. Karena perputaran uang di desa begitu lambat sekali. Paling mendekati musim panen barulah sedikit bergairah ekonomi setelahnya kembali lesu. Apalagi ketika gagal panen atupun harga-harga bahan pokok naik melonjak.

Pilihan untuk menjadi petani tentulah bukan pilihan bijak. Tetapi mau bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa dilakukan. Itupun setiap tahunnya jumlah hasil panen selalu mengalami penurunan. Karena itulah sulit sekali mencari pemuda yang mau bertani di desa. Sebenarnya tidak hanya para pemuda bahkan di tempat saya sudah banyak yang meninggalkan desanya menuju kota.

Pada akhirnya memang godaan untuk hidup di kota begitu besar. Selain faktor gengsi tentu hidup di kota setidaknya bisa makan nasi dengan menggunakan garpu. Sementara di desa tidak banyak alternatif yang bisa dilakukan. Ya kalo hanya bertani saja toh pada akhirnya akan mengalami masa kejenuhan. Dan hijrah ke kota ada pilihan cukup menjanjikan.