PENDIDIKAN KARAKTER MUHAMMAD AL-FATIH KECIL

Senin, 17 Agustus 2020

Oleh: Selviani, S.Pd., M.Pd.E.

Dosen STAI Auliaurrasyidin Tembilahan

Indragirione.com,- Sultan Mehmed II yang lahir pada 833 H (1429 M), Sultan Utsmani ketujuh dalam silsilah keluarga Ustman, bergelar Muhammad Al-Fatih dan Abu Khairat, memerintah kurang lebih selama 30 tahun dan berhasil membawa kebaikan dan kemuliaan bagi kaum muslimin. Dia diangkat menjadi penguasa daulah Ustamniah setelah kematian ayahnya pada 16 Muharram 855 H. Pada waktu itu umurnya baru 22 tahun (Ash-Shalabi, 2015:168).

Dikatakan bahwa ketika menunggu proses kelahiran, Murad II menenangkan dirinya dengan membaca Al-Quran dan lahirlah anaknya saat bacaannya sampai pada surah Al-Fath, surat yang berisi janji-janji Allah akan kemenangan kaum muslim. Sebagai anak laki-laki ketiga, Mehmed tidak diperkirakan siapapun untuk menjadi pengganti Murad II menjadi sultan (Felix Y. Siauw, 2017:43).

Sultan Muhammad Al-Fatih merupakan sultan yang berilmu, sholeh, pemimpin negara dan militer yang hebat. Bahkan mendapatkan bisyarah Nabi Muhammad SAW. Namun tahukah kita? Jauh sebelum menjadi sultan penakluk Konstantinopel, ada sebuah pelajaran sejarah yang jauh lebih penting untuk kita ketahui. Bahkan sejarah beliau dapat ditiru oleh setiap orang tua muslim yang menginginkan anaknya berkarakter seperti Sultan Muhammad Al-Fatih.

Muhammad Al-Fatih di masa kecilnya merupakan seorang anak yang pemalas. Jika pada saat ini banyak orang tua yang memiliki anak yang pemalas, jangan berkecil hati dulu. Terus dididik dengan benar. Sama seperti Muhammad Al-Fatih, bisa menjadi seorang yang besar ketika sebelumnya adalah seorang anak yang malas belajar. Nah, di sini pelajaran penting yang dapat kita ambil dibalik kemalasan Sultan Muhammad Al-Fatih, yaitu hati-hati dengan memberikan  fasilitas kepada anak.

Sejatinya orang tua menyayangi anaknya merupakan hal yang lumrah. Orang tua pasti ingin membahagiakan anak-anak bagaimanapun caranya. Sayangnya banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa rasa sayangnya yang berlebihan justru memberikan efek yang kurang baik terhadap psikologis anak. Contohnya seperti memberikan fasilitas kepada anaknya, meski sebenarnya sang anak belum membutuhkannya. Seperti memberikan smartphone atau tablet. Padahal anak belum cukup umur untuk menerima fasilitas terebut. Orang tua sering kali terjebak dengan memberikan barang-barang mewah atau mainan mahal telah memberikan kebahagiaan kepada anak, padahal tanpa disadari orang tua justru telah memanjakan anaknya tersebut. Jika orang tua terlalu memanjakan anaknya, bisa mengakibatkan anak cenderung tak memiliki kemandirian dalam kehidupan sosialnya, mudah menyerah, dan bisa menjadi pribadi yang egois.

Begitu juga yang dialami oleh ayah dan ibu Muhammad Al-Fatih. Karena ayah Muhammad Al-Fatih adalah seorang sultan (Sultan Murad II) yang berkuasa pada tahun 1421-1451 M. Pada saat itu, kekhalifahan Turki Usmani sedang merangkak naik dengan gemuruh kekuatannya. Dengan melihat luas dan besarnya kekhalifahan yang dipimpin sang ayah, tentu Muhammad Al-Fatih kecil mendapatkan banyak sekali fasilitas kerajaan. Seluruh kekayaan sang ayah akhirnya menghasilkan sifat malas pada Muhammad Al-Fatih kecil. Sang sultan kecil merasa paling kaya, paling berilmu, dan paling berkuasa. Padahal ternyata segala kekayaan, keilmuan, dan kekuasaan adalah mutlak milik sang ayah, Sultan Murad II.

Sultan Muhammad Al-Fatih dilahirkan disebuah masa ketika sang ayah Sultan Murad II memerlukan generasi penerus kekhalifahan. Maka Muhammad Al-Fatih kecil menjadi satu-satunya penerus kekhalifahan Turki Usmani setelah meninggalnya sang kakak, Sultan Alauddin di suatu medan jihad.

Masalah kemalasan Muhammad Al-Fatih kecil menjadi PR besar bagi sang ayah, Sultan Murad II. Sultan Murad II adalah ayah yang baik, yang tidak membiarkan anaknya hanya bermain-main. Melainkan mempersiapkan anaknya menjadi lebih baik untuk kelanjutan generasi selanjutnya. Muhammad Al-Fatih masalahnya adalah setiap datang guru yang siap mengajarinya dengan ilmu dan kesholehannya selalu ditertawakan, dilecehkan, dan diabaikan. Ini adalah sebuah potret yang sangat berbahaya bagi sebuah dunia pendidikan. Kalau seorang ahli ilmu atau guru sudah dilecehkan dan tidak ada wibawanya lagi di depan murid, maka ini adalah kiamat pendidikan. Pendidikan generasi tidak akan menghasilkan apa-apa. Karena dalam Islam, menghormati ilmu, menghormati ahli ilmu adalah modal kebesaran.

Dalam Islam, posisi seorang ibu adalah posisi yang sangat penting. Ibu adalah madrasah utama bagi anak-anaknya. Ibu berkewajiban memberikan pendidikan awal untuk anak. Begitu juga yang dilakukan oleh ibu Muhammad Al-Fatih, Huma Hatun. Ibu Muhammad Al-Fatih adalah ibu yang sholehah, istimewa, ibu yang fokus dalam mendidik anaknya untuk menjadi orang yang besar. Orang yang akan melumpuhkan Konstantinopel sesuai bisyarah Nabi Muhammad SAW. Setiap selesai salat subuh, ibunya membawa Muhammad Al-Fatih kecil, kemudian ditunjukkan dari kejauhan benteng Konstantinopel yang megah itu. Ibunya mengatakan “Namamu adalah nama nabi kita Muhammad SAW, nabi kita yang pernah mengatakan bahwa benteng itu pasti akan ditaklukkan. Dan kaulah yang akan menaklukkannya”. Ibu yang  sudah menggambarkan kebesaran di kepala anaknya dan dilakukan setiap hari, di waktu yang barokah pada pagi hari.

Muhammad Al-Fatih percaya akan prediksi Nabi Muhammad SAW yang disabdakan dalam sebuah hadits yang artinya: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam, pemimpinnya yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baiknya pasukan” (HR. Ahmad bin Hanbal).

Hadist ini selalu menjadi pedoman setiap sultan kekhalifahan Islam untuk memimpikan penaklukan benteng pertahanan Konstantinopel dari tangan-tangan Romawi Timur. Tak terkecuali Sultan Murad II. Beliau sadar bahwa sang anak memerlukan guru yang mampu membentuk karakter dan meneruskan misi besar sang ayah dalam menaklukan pusat kekuasaan Romawi Timur di Konstantinopel.

Sultan Murad II tak kurang akal, dia mencarikan guru yang paling cakap membentuk karakter, akhirnya dia mendapatkan nama (guru) orang sholeh, seorang ahli ilmu yang sangat  luar biasa. Sultan Murad menugaskan kepada para syekh yang paling bagus pada masanya untuk membentuk kepribadiannya dan di serahkan kepada Syekh Ahmad  bin Ismail Al-Qurani adalah ulama yang berilmu lagi faqih serta masyur dengan berbagai keutamaan menurut Imam Suyuti, dan Syekh Aaq Syamsuddin adalah ulama yang nasabnya bersambung pada Abu Bakar Ash Shiddiq dan seorang yang pengetahuannya tidak terbatas pada satu bidang sebagaimana kebanyakan ulama pada masanya ( Felix Siauw, 2017:46).

 Kemudian sang ayah, Sultan Murad II mengatakan kepada guru anaknya tersebut, “Saya akan serahkan sepenuhnya pendidikan anak saya padamu”. Sambil sang ayah menyerahkan sabetan (pukulan) kepada sang guru. Dan sang ayah berkata lagi “Ajari anak saya ilmu. Jika ia tidak mau belajar, maka pukul ia pakai pukulan ini”. Sang ayah mengizinkan sang guru untuk memukul sang anak. Jangan salah paham dengan pukulan, karena dari pukulan itulah melahirkan pemimpin besar, Sultan Muhammad Al-Fatih. Kalau orang berilmu sesholeh Syekh Al-Ahmad bin Ismail Al-Qurani tidak akan salah pukul. Karena dalam Islam memukul untuk pendidikan ada aturannya, bukan sembarang memukul.

Salah satu guru spiritual Sultan Muhammad Al-Fatih kecil, Syekh Ahmad bin Ismail Al-Qurani. Memiliki kesempatan yang sangat baik dalam mendidik sang calon penakluk. Pada awalnya mendidik sang anak sultan yang sangat berkuasa yang terbiasa hidup dengan fasilitas mewah, memang sangat berat bagi kebanyakan guru. Namun sang guru ini memiliki kesabaran dan strategi yang ampuh yang berhasil membentuk jiwa sang sultan.

Hari pertama sang guru melaksanakan mandat sang sultan, didatangilah Muhammad Al-Fatih kecil dengan membawa pukulan sesuai amanah sang ayah. Tapi seperti biasa, Muhammad Al-Fatih kembali menertawakan gurunya, tidak menghargai gurunya. Diminta belajar tidak mau belajar. Maka yang berbicara adalah pukulan. Dipukul sang guru dengan pukulan pendidikan. Dan terkejutlah Muhammad Al-Fatih kecil ketika dipukul. Yang mana pukulan itu belum pernah dia rasakan dari guru-guru sebelumnya. Tapi Ia tidak bisa melawan, sang guru mendapat legitimasi penuh dari ayahnya untuk memukul jika bersalah. Tapi justru inilah yang harus dipahami. Dari pukulan ini membuat Muhammad Al-Fatih mau belajar untuk pertama kalinya. Hasil dari pukulan itu Muhammad Al-Fatih berubah menjadi anak yag sholeh, Hafidz Quran di usia 8 tahun ditangan Syekh Ahmad bin Ismail Al-Qurani. Jadi, ada saatnya anak kita dididik dengan kasih sayang dan kelembutan, namun juga ada saatnya dididik dengan tegas.

Sesuai kebiasaan dalam Turki Usmani kala itu, Sultan Muhammad Al-Fatih dikirim untuk mencari pengalaman di sebuah desa bernama Manisa. Di sanalah Sultan Muhammad Al-Fatih mendapatkan guru baru yang dikenal dalam sejarah kekhalifahan Turki Usmani yang dikenal dengan, Syekh Aaq Syamsuddin. Syekh Aaq Syamsudin adalah seorang dokter kekhalifahan yang juga sangat fasih dalam ilmu Fiqh dan hukum-hukum Islam. dari Aaq Syamsuddin lah, Sultan Muhammad Al-Fatih kecil mempelajari banyak sekali ilmu.  Maka pada tahun 1451 M, Sultan Muhammad Al-Fatih yang baru berumur 20 tahun pun naik tahta menggantikan sang ayah yang wafat setelah mengalami sakit. Sultan Muhammad Al-Fatih pun hijrah ke Edirne dengan membawa serta sang guru Syekh Aaq Syamsudin dan menjadi penasihatnya.

Ini yang menarik dari Syekh Aaq Syamsuddin, ketika Muhammad Al-Fatih sudah menjadi sultan. Sultan Muhammad Al-Fatih bertanya kepada sang guru, “Guru izinkan saya bertanya, sampai saat ini saya masih ingat, ketika guru pernah memukul saya waktu kecil, padahal saya yakin saya tidak punya kesalahan, saya tidak lupa pukulan itu guru, saya tunggu hari ini saya mau bertanya pada guru”. Ternyata Sultan Muhammad Al-Fatih pernah dipukul juga oleh Syekh Aaq Syamsuddin. Tetapi apa jawaban sang guru? “Nak, aku lakukan itu karena aku tau hari ini akan tiba, hari dimana kau akan bertanya kepadaku padahal kau tidak salah. Dan benar kau memang tidak ada salah. Kau tau nak, kalau kau tidak pernah lupa dengan pukulan itu. karena kau tidak bersalah. Aku lakukan semua itu karena aku tau kau akan menjadi Sultan. Begitu juga dengan orang-orang yang kau zalimi. Mereka tidak akan tidur dengan kezaliman yang kau lakukan. Oleh karena itu jangan pernah kau zalimi siapapun”. 

Guru yang cerdas, pelajaran mahal sekian tahun dipendamnya baru dipahami setelah sekian tahun. Karenanya Sultan Muhammad Al-Fatih berkata setelah berhasil menaklukkan benteng Konstantinopel. Sultan Muhammad Al-Fatih mengatakan “Yang menjadi penakluk sesungguhnya bukan saya, tetapi penakluk yang sesungguhnya adalah guru saya, Syekh Aaq Syamsuddin”. 

Berkat pendidikan karakter dan pendidikan Islami dari kedua gurunya Syekh Ahmad bin Ismail Al-Qurani dan Syekh Aaq Syamsuddin. Akhirnya anak itulah yang bergelar Sultan Muhammad Al-Fatih (sang penakluk). Sultan yang mampu menaklukkan sebuah benteng paling kuat dalam sejarah, 1000 tahun lebih tak tergoyahkan dan selama 825 tahun penantian atas kebenaran Sabda Nabi akan takluknya benteng Konstantinopel oleh Sultan terbaik.

Sejarah pendidikan Sultan Muhammad Al-Fatih kecil, memberikan kita contoh dalam pembentukan karakter anak-anak kita sebagai generasi Islam yang kokoh di masa depan. Semenjak kecil Sultan Muhammad Al-Fatih kecil dididik untuk menyelesaikan Al-Quran dan menyelesaikannya. Dan dibekali cara mengamalkan apa yang telah difirmankan Allah SWT di dalam Al-Quran. Di usia yang masih belia, Sultan Muhammad Al-Fatih mampu menguasai 7 bahasa dengan sangat baik. Sultan Murad II dan istrinya yakin, bahwa bahasa adalah unsur yang sangat penting dalam suatu peradaban bangsa. Di mulai dari bahasa nasionalnya, bahasa Turki,  bahasa Arab, Serbia, Italia, dan bahasa-bahasa dari Negara lain di kawasan Eropa dan Balgan. Bahasa-bahasa ini merupakan bahasa dari kebanyakan negara yang berhasil ditaklukkan Sultan Muhammad Al-Fatih.

Kesimpulan yang bisa orang tua muslim ambil dari pendidikan karakter dilingkungan Sultan Muhammad Al-Fatih kecil adalah jika ingin pendidikan anak kita berhasil, jangan sampai salah memilih guru. Pilihlah guru yang sholeh dan berilmu. Dan serahkan anak kita seutuhnya kepada guru. Jika anak kita perlu dihukum oleh gurunya, silahkan dihukum. Sungguh sangat menyedihkan ketika dunia pendidikan dihancurkan dengan para guru yang ketakutan oleh orang tua. Tidak ada hasil pendidikan yang istimewa jika orang tua ikut campur dalam dunia pendidikan padahal tidak tahu tentang pendidikan. Jika kita sudah menyerahkan kepada seorang guru, maka percayakanlah. 

Menurut Ustad Felix Siauw, ayah bagi anak terbagi dua, yaitu ayah biologis dan ayah ideologis. Pertama, ayah biologis bagi anak adalah ayah kandungnya sendiri. Kedua, ayah ideologis adalah seorang guru yang memberi pemahaman ilmu dan karakter kepada anak. Ayah biologis tidak selalu menjadi ayah ideologis, tetapi sebagian ulama atau ustad akan merangkap menjadi ayah biologis serta ideologis untuk anaknya.

Referensi:

Ash Shalabi Ali Muhammad. 2015. Muhammad Al- Fatih Sang Penakluk. Solo: Al-Wali.

Siauw Felix Y. 2017. Muhammad Al-Fatih 1453. Jakarta. Al-Fatif Press.