Rivana Usgianti: Mengundang Hujan Dengan Istighfar, Menyikapi Viral Gerakan Seember Air Garam Untuk Memancing Hujan

Sabtu, 14 September 2019

Indragirione.com,- Mampukah seember air garam mengundang hujan? Kelebat pertanyaan ini tentu terdengar lucu. Tetapi jangan salahkan ide-ide aneh yang bermunculan di tengah kepungan kabut asap yang menyelubungi atmosfer Riau akhir-akhir ini. Ide-ide aneh itu bisa saja lahir dari berkurangnya kadar oksigen di otak pencetusnya akibat terlalu lama menghirup asap. Ide itu bisa juga muncul akibat lelahnya menanti penanganan dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab. Cukuplah istighfar menjadi penandanya.

Mari meluruskan yang terlipat agar benderang pemahaman kita. Hujan adalah rahmat Allah. Hadir karena kehendak Allah. Maka kepadanya semestinya kita meminta meski tak salah jika kita berusaha mengajinya dalam ragam pengetahuan, sebab jauh sebelum pengetahuan itu tiba, telah difirmankan-Nya dalam Al-Quran tentang bagaimana hujan tercipta.

''Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal, lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira.'' (Q.S. Ar-Ruum : 48)

Mari mengaji kebenaran yang semestinya. Hujan adalah rahmat Allah yang terorganisir. Tak melulu datang tanpa sebab. Dialah yang memilih bagian mana yang mendapat rahmat-Nya. Jelas tersebut dalam firmannya tiga tahap hujan tercipta, dari angin yang digerakkannya, lalu awan yang menggummpal mengumpulkan titik air dan jatuhlah rahmatnya dalam titik-tik air dari celah-celah awan.

Selaras dengan firman-Nya, dalam pengetahuan manusia, hujan adalah bagian dari system hidrologi. Bermula dari evaporasi atau penguapan air laut, sungai, dan cekungan-cekungan yang mengandung air di muka bumi ini. Tak hanya permukaan muka bumi, penguapan juga terjadi pada tubuh makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia melalui proses transpirasi.  Penguapan itu membuat air yang berbentuk cair berubah menjadi gas atau uap air. Di ketinggian tertentu terjadilah kondensasi ketika uap-uap air berubah menjadi embun yang diakibatkan oleh suhu di sekitar uap air lebih rendah daripada titik embun air. Suhu udara yang semakin tinggi membuat titik-titik dari embun semakin banyak dan memadat lalu membentuk menjadi awan.

Perbedaan tekanan udara di langit menyebabkan pergerakan udara atau angin. Angin menggerakan awan yang membawa butir-butir air menuju tempat dengan suhu yang lebih rendah. Awan-awan yang terkumpul bergabung menjadi awan besar berwarna kelabu dalam proses koalensi. Dalam ketebalan tertentu, barulah terjadi hujan.

Maka cukupkah seember air garam untuk mengundang hujan? Tentu tidak. Sebab hujan tak melulu soal evaporasi, transpirasi, kondensasi atau koalensi. Hujan juga memerlukan pola angin yang mengarahkan awan bergerak ke suatu tempat. Dan hanya Allahlah yang sejatinya berkehendak mengarahkan kemana angin berhembus, sebab dalam kajian yang luas ada banyak jenis dan pola angin dengan penyebabnya yang beragam pula.

Maka, cukupkah seember air garam untuk mengundang hujan? Tentu tidak. Bukankah lebih baik memperbanyak istighfar agar Allah berkenan mengabulkan doa. Mengukuhkan istighfar dengan kesungguhan menjaga bumi dari tindakan merusaknya, seperti membakar hutan demi korporasi. Hingga pada akhirnya Allah berkenan menggiring angin yang mengarak awan hujan sampai turun rahmat-Nya, seiring luruhnya butiran air hujan dan menyibak kabut asap yang menyesakkan dada. (Fs)