Takkan Duanu Hilang di Laut, Suku Pesisir Kabupaten Inhil

Sabtu, 13 Februari 2021

Indragirione.com,- Sore di pesisir Kabupaten Inhil, Kecamatan Kuindra tepatnya di Desa Sungai Bela, para nelayan menghidupkan mesin perahu, mereka bekerja sebagai nelayan sebagian dari nelayan itu mencari ikan dan yang lainnya mencari biota pantai yang biasa disebut kerang demi menghidupi keluarga. 

Sepeninggal bapak-bapak pergi mencari nafkah, ibu-ibu di rumahnya mengisi waktunya dengan mencuci baju, mencari kutu dari anak gadis mereka, memasak dan menjemur ikan asin untuk dikonsumsi atau sebagian lagi dijual, untuk membeli kebutuhan pokok lainnya. 

Jarang ibu-ibu Desa Sungai Bela berkumpul atau membicarakan hal-hal yang tak penting, hanya anak-anak mereka yang senang melakukan hal demikian, belajar, sekedar bermain, atau bahkan bercerita dongeng. 

Sebagaimana anak-anak, tanpa beban mereka bercita-cita. Dengan membawa niat yang di cita-citakan, mata mereka menerawang melewati kaca jendela menembus hutan mangrove yang seenaknya tumbuh melampaui batas bibir pantai dan berakhir di langit biru dengan hiasan awan putih. 

Diketahui, sebagian besar penduduk Desa Sungai Bela Kecamatan Kuindra adalah suku Duanu, nenek moyang mereka disebut orang laut (melayu tua, red) Dikatakan salah satu tokoh Duanu, Sarpan kata Duanu berasal dari bahas Belanda, Duane. "Artinya Pajak Cukai Pabean dari hasil-hasil laut," katanya.

Mereka bersifat nomaden, berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya sepanjang pesisir pantai Pulau Sumatera, Indonesia.
 
Jadi, Suku Duanu yang hidup berjejer rumah di tepian pantai bukan karena keterpaksaan ataupun kemelaratan, hanya mengikuti alur hidup dari pendahulu mereka. Sedang mereka kaya akan ilmu spritual dan supranatural, kaya ilmu tentang adab, kaya ilmu budi pekerti, kaya ilmu tentang laut, bahkan mereka memiliki dialek bahasa yang jarang dimiliki orang lain. 

Jika malam tiba, ibu-ibu seusai sholat melanjutkan doa kepada sang kuasa agar suami mereka diberi keselamatan mencari nafkah di tengah laut, selamat dari marabahaya alam dan pulang dengan selamat membawa bekal untuk mengarungi hari esok. 

Setahun yang lalu, tepatnya Agustus 2020 dua orang nelayan asal Desa Perigi Raja Kecamatan Kuindra ditemukan mengapung dalam keadaan meninggal. Dugaan masyarakat, perahu nelayan itu ditabrak oleh speedboat berkecepatan tinggi berkapasitas 6 sampai 8 mesin. 

Mundur setahun lagi, pada Oktober 2019 perampokan bersenjata menyatroni Kapal Nelayan di perairan Sungai Merusi, Desa Sungai Bela Nahkoda dan awak kapal diikat serta harta mereka dirampas. 

Hal itulah yang membuat keluarga nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil laut was-was jika kepala keluarga mereka belum pulang dari melaut. Namun jika kepala keluarga mereka pulang dengan selamat, baik berhasil mendapatkan ikan melimpah ataupun sedikit keluarga nelayan itu bahagia bukan main, tidak ada status janda, tidak ada status yatim. 

Selain berprofesi sebagai nelayan, ternyata masyarakat Desa Sungai Bela juga berprofesi sebagai petani kelapa. Sistemnya begini, masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan akan berpindah profesi jika waktu panen kelapa dari kebun-kebun mereka tiba. Salah satu PT yang membeli kelapa, hasil dari masyarakat Sungai Bela adalah PT. Indogren Jaya Abadi (IJA).

Duanu tetaplah berteman dengan laut, "ada laut mereka hidup". Jika hasil laut melimpah mereka menjualnya ke tengkulak dari Tembilahan, seringkali hasil jerih payah mempertaruhkan nyawa ditengah laut dihargai murah, contoh ikan asin yang dikeringkan oleh nelayan hanya di hargai Rp. 3.000 perkilonya.

Sementara tempat wisata jangan ditanya, masyarakat Desa Sungai Bela menawarkan Pantai Terumbu Mabloe. Struktur pantai dari cangkang biota laut yang sudah lapuk ini salah satu destinasi wisata yang wajib anda kunjungi saat berada di Desa Sungai Bela. 

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Inhil dan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) asli dari suku Duanu, Hasanuddin sedang semangat-semangatnya mempromosikan pantai unik ini. Sudah banyak wisawatan lokal berkunjung ke pantai tersebut. 

Dikatakan unik, karena pantai ini bukan langsung berhadapan dengan laut, namun ''bergaul'' dengan sungai. Dibelakang dan tepi pantai Mabloe terbentang hamparan lumpur tempat masyarakat Sungai Bela merawat budaya mereka, yaitu menongkah. Dikatakan Sarpan lagi, menongkah berasal dari kata tongkah, adalah alat dari sebilah papan untuk mencari kerang di hamparan lumpur. 

Selain hamparan lumpur yang sudah ditanami bibit Mangrove, juga terhampar hutan bakau. Nah, hutan bakau dan hamparan lumpur tadi lah yang "diciumi" oleh gelombang laut.

Jika wisatawan lokal tiba, masyarakat ataupun Suku Duanu tempatan tidak ketinggalan. Suku Duanu menyambut dan ikut merasakan pantai Mabloe. Ketika wisatawan pulang jiwa-jiwa mereka hening, sepi berharap akan dikunjungi lagi, tangan mereka terbuka. Begitu juga wisatawan lokal terbayang masakan Suku Duanu, Udang Nenek dan Kerang Rebus yang jarang mereka dapatkan di rumah.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, penerus Suku Duanu kini mulai "dicekoki" perubahan zaman yang semakin pesat, barang-barang elektronik tak ketinggalan, segala update informasi mereka peroleh, gaya hidup dan budaya baru didapatkan dari sumber handphone digenggaman, bak air sungai mengalir dikolong rumah mereka jika air pasang tiba. 

Namun anggota DPRD satu ini, Hasanuddin berkata dengan nada meyakinkan, santun dan bersahabat kepada setiap tamu yang datang, 'Piak Duanu Lap ne Dolak' yang artinya "takkan Duanu hilang di laut,”. Ia adalah ketua Ikatan Keluarga Duanu Riau (IKDR).