Oleh: Arfah
Indragirione.com,- Sulit mencari judul yang pas untuk tulisan ringkas ini, tapi biarlah saya menggunakan istilah yang memang pupuler di kampung saya. Qunut. Entah, saya juga sulit mencari defisiensi kenapa mesti istilahnya di kampung saya itu Qunut. Mungkin saja karena berkebetulan malam ke-16 ramadhan di mana setelah rakaat terakhir sebelum sujud, para jamaah melakukan doa qunut.
Sependek yang saya tahu, di kampung memang hampir jarang orang mencari istilah itu, dikaitkan dengan filosofi tertentu. Sangat jarang. Pun demikian untuk sebuah nama, yang nantinya akan melekat sepanjang hayat. Maka, tidak heran, dulu ada banyak yang bernama, ambo tuo, ambo tang, becce, yaccok kalllolo"—tak usah diartikan ke dalam bahasa Indonesia.
Kisah saya lanjutkan. Malam Qunut biasanya selalu menjadi malam yang ditunggu-tunggu. Bahkan biasanya yang jarang nongol di mushola pun malam itu hadir tanpa dikomando. Alasannya sederhana, karena malam itu para jamaah (setelah sholat taraweh) disuguhi hidangan berupa kue yang sebelumnya dibawa ibu-ibu dari rumah masing-masing.
Hidangan tersebutlah yang kemudian disantap secara bersamaan-sama, sambil sesekali mengobrol tanpa arah. Entah kenapa menikmati kue di dalam langgar yang tak memiliki pendingin ruangan itu terasa enak. Sementara hidangan yang ada disuguhkan bukanlah tergolong makanan istimewa. Hanya ada dadar gulung, barongko, naga sari, pisang goreng. Dan yang tak pernah ketinggalan _bubu panreng_ es kelapa muda yang dicampur dengan irisan nanas.
Suasan makin riuh tatkala anak-anak mulai berebutan untuk mendapatkan kue incarannya yang memang sejak teraweh sudah merasuk dan melayang-layang dalam pikirinya. Uniknya tak ada yang melarang apalagi sampai membentak. Malahan ibu-ibu senyumanya mulai mengembang manakala talam yang ia bawa ludes tanpa sisa. Sering saya perhatikan diam-diam, tergambar jelas di wajahnya rasa puas yang amat sangat, padahal semua juga tahu kue tersebut disiapkan sejak matahari masih merah.
Menariknya, tradisi semacam ini masih dilestarikan hingga saat ini. Dan dalam ingatan sayaz di kampung sepertinya hanya kunnut ini yang belum tersentuh moderenisasi. Ya, kalau bisa jangan dong. Sedang yang lainnya sudah secara perlahan ditinggalkan, dianggap kurang modern. Ketinggalan zaman.
Contoh sederhananya, dulu ketika orang mau mendirikan rumah sangat jarang menggunakan jasa tukang. Semua dikerjakan secara gotong-royong. Sekarang rumah-rumah sudah berganti model pun demikian yang mengerjakannya, sudah ditangani tukang profesional.
Reportnya kalau mau menggeser posisi rumah agak ke depan, ya rumah harus dibongkar dahulu. Beda kasus kalo rumah duluan (rumah panggung) jika mau dipindah, tinggal digotong saja beramai-ramai. Mungkin ini juga bagian dari moderenisasi? Entahlah.
Saya kemudian membayangkan, andaikata kunnut ini juga tersentuh monderenisasi. Mungkin orang-orang masih membawa kue-kue langgar. Tapinya tidak lagi dengan menggunakan talam. Sudah diganti dengan kotak kue yang mudah dibeli dipasar Minggu-an. Alasannya klasik, lebih efisien dan tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra.
Bukankah duduk-duduk dengan mengitari talam yang berisi hidangan menciptakan suasana keakraban. Karena mungkin sebelumnya para warga sibuk dengan aktivitasnya di ladang. Barulah pada momen-momen seperti kunnut itu bertemu. Beramah tamah, menanyakan kabar bagaimana panen tahun ini. Susana tercipta begitu akrap tanpa harus ada yang sibuk dengan gadget-nya.
Itulah sebenarnya maksud dari perayaan kunnut itu. Untuk merekat kembali jalinan silaturahmi, karena mungkin saja dalam beberapa waktu, antar warga sibuk dengan kegiatannya baik di ladang atau di kebun. Maka di depan talamlah kemudian di pertemuan kembali. Tidak seperti sekarang, orang bertanya kabar melalui kolom komentar.
kita tidak ingin dengan moderenisasi menghancurkan budaya-budaya lokal yang telah terpelihara sejak lama. Karena ketika kita sudah abai terhadap tetangga serta hilang rasa empati maka kemudian akan lahir manusia-manusia yang apatis. Orang Jakarta sering menyebutnya loe-loe gue-gue.