Trending
Kelompok Pemuda di Tembilahan Saling Tikam, Dua Orang Tewas
Dua Pemuda di Tembilahan Meninggal Dunia Akibat Tusukan Sejam
Wisata Religi Makam Syekh Abdurrahman bin Ya’qub
Guru Syekh Abdurrahman Yakub (1912-1970) merupakan Pendiri pesantren nurul wathan Kotabaru. Tuan Guru dilahirkan di Desa Sungai Bangkar, Reteh, Indragiri Hilir, pada tanggal 12 Oktober 1912 M/ 1 Dzulqaidah 1330 H. Sejak kecil Tuan Guru Reteh telah mendapat didikan agama dari sang ayah yang merupakan alumni institusi pendidikan Islam di Kedah, Malaysia.
Tuan Guru Retih bernama lengkap Syekh Abdurrahman bin Ya’qub. Namanya dan nama orang tuanya tersebut bukanlah nama asli sejak dilahirkan, tetapi merupakan pergantian nama ketika kembali dari tanah suci. Nama asli Abdurrahman adalah “Mansur”, sedangkan nama ayahnya adalah “Rajab”. Maka semestinya nama aslinya adalah Syekh Mansur bin Rajab, namun masyarakat lebih mengenalnya dengan nama Syekh Abdurrahman bin Ya’qub.
Ayahnya ini termasuk pemuka Agama dan tokoh masyarakat yang berhasil membuka lahan perkebunan kelapa yang dinamai dengan namanya sendiri “Parit Rajab”. Karena dari kalangan orang berada, ayahnya inilah mengantarkan sekeluarga ke tanah suci Mekah, sekaligus mengantarkan Tuan Guru muda untuk menuntut ilmu.
Sebelum ke Mekah, Tuan Guru Reteh sempat menimba ilmu di Teluk Dalam Sapat. Di tempat ini ia belajar kepada H. Zuhri dan H. Lahya. Dari dua orang gurunya ini ia belajar dasar-dasar Islam, seperti: al-Qur’an, tafsir, hadits, tauhid, fiqih, bahkan ilmu falak.
Setelah bekal keilmuannya cukup, maka tahun 1927 M/ 1345 H, ia bersama keluarganya berangkat ke tanah suci Mekah. Mekah ketika itu selain sebagai tujuan ibadah haji juga sebagai pusat pendidikan agama Islam.
Di Mekah Tuan Guru Reteh secara formal belajar di Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini didirikan oleh seorang wanita keturunan India. Ada banyak pelajar dan pengajar dari Nusantara mengabdikan ilmu di Madrasah ini.
Tuan Guru Reteh berhasil menyelesaikan pendidikan menengahnya di Madrasah al-Shaulatiyah dalam waktu tempuh 5 tahun.
Tuan Guru Reteh akhirnya memilih untuk menempuh pendidikan tinggi di Madrasah Dar al-Ulum al-Diniyah yang baru didirikan 1934. Di tempat ini, ia juga diberikan izin mengajar untuk Pendidikan Dasar.
Begitu pula di Masjidil Haram, ia diperkenankan untuk membuka halaqah. Jadi, waktu Tuan Guru Reteh dihabiskan untuk belajar sekaligus mengajar di Mekah kurang lebih 12 tahun.
Ada banyak sekali guru-guru dari Tuan Guru Reteh, antara lain: Syekh Muhammad Ali al-Maliki (w. 1368 H), Sayid Hasan Masysyath (w. 1399 H), Sayid Muhsin al-Musawa (w. 1354 H), Syekh Umar Hamdan (w 1368 H), Syekh Said al-Yamani (w. 1352 H), Syekh Zubair al-Malawi, Syekh Muhammad Zen Bawean (w. 1426 H), Syekh Said Tungkal (w. 1405 H), Syekh Utsman Tungkal, Syekh Idris Jambi, Syekh Abdul Hamid Amuntai (w. 1370 H), termasuk juga Syekh Muhammad Yasin al-Fadani (w. 1410 H).
Sedangkan teman-teman seperguruannya antara lain: Syekh Muhammad Zainuddin Abdul Majid (Pendiri Nahdlatul Wathan, Nusa Tenggara Barat) dan KH. Junaidi, Menteng Jakarta.
Di Mekah, Tuan Guru Reteh menikah dengan Rugayah binti H. Muhammad Said seorang gadis asal Merlung Jambi yang sejak kecil telah bermukim di Mekah, Pernikahan ini berlangsung pada tahun 1938 M/ 1356 H.
Selain menikah dengan Rugayah, Tuan Guru Reteh juga menikahi tiga wanita lainnya setelah kembali dari Mekah, yaitu Ni’am binti Saman menikah di Enok tahun 1941, Aisyah binti H. Abdul Qadir menikah di Sungai Undan tahun 1946, dan Qamariyah binti Ma’rahim menkah di Sungai Gergaji tahun 1949.
Pada sekitar tahun 1938 beliau beserta istri pertamanya memutuskan untuk kembali ke tanah air, tepatnya kembali ke Teluk Dalam Sapat. Di daerah inilah ia mulai mengabdikan diri di institusi pendidikan yang didirikan oleh Tuan Guru Sapat Syekh Abdurrahman Siddiq.
Setelah Tuan Guru Sapat meninggal tahun 1939, Tuan Guru Reteh pindah ke Enok dan mendirikan madrasah bernama “Dar al-Ta’lim” tahun 1941.
Kemudian karena panggilan masyarakat ia kembali lagi ke Teluk Dalam hingga tahun 1946, setelah itu ia pindah lagi ke Kota Baru Reteh. Di Kota Baru Reteh ini ia mendirikan Madrasah Nurul Wathan tahun 1947.
Sayangnya dua tahun kemudian Madrasah ini terbakar habis, atas partisipasi masyarakat didirikanlah kembali Madrasah Nurul Wathan di Sungai Gergaji tahun 1954. Madrasah ini berhasil bertahan hingga hari ini dan meluluskan alumni-alumni yang tersebar diberbagai penjuru Nusantara.
Tuan Guru Reteh termasuk ulama yang produktif, setidaknya ada enam buah karya tulisnya yang terdata, yaitu: Amtsilah al-Mukhtashar (ilmu Sharaf), Qawa’id al-Nahwiyah (ilmu nahwu), Ahwal al-Waratsah fi Taqsim al-Tirkah (ilmu mawarits), Nail al-Amani li Ma’rifat al-Auqat al-Syar’iyah (ilmu falak), Kitab Fiqh, dan Kitab Tauhid. Dua karya terakhir masih dalam bentuk manuskrip.
Bila diamati, maka Tuan Guru Reteh lebih menekankan pentingnya pengajaran dan penguasaan gramatikal Arab kepada murid-muridnya. Tentu ini menjadi bekal untuk menyibak kekayaan khazanah keislaman, terutama untuk memahami kitab-kitab kuning.
Selain produktif mengarang kitab-kitab, beliau juga menciptakan beberapa buah mars atau lagu, 3 lagu berbahasa Arab, dan 12 lagu berbahasa Indonesia, di antara judul-judul lagu tersebut antara lain:
Murid Nurul Wathan, Kami Pemuda Islam, Wahai Kawan, Dua Puluh Tujuh Rajab, dan Maulid Nabi. Lagu-lagu ini dulu sering dinyanyikan oleh sejumlah murid-murid Madrasah di Indragiri Hilir, terutama di Keritang, Reteh, Tanah Merah, dan Enok.
Pada tahun 1966 beliau pindah lagi ke Pasar Kembang Keritang. Di tempat ini ia kesehatannya menurun dan sering sakit, namun ia tetap bersemangat menambah pendirian institusi dengan nama serupa Nurul Wathan.
Sayangnya ia tidak dapat melihat perkembangan dan kemajuan madrasah ini, tepat pada tanggal 15 April 1970 M/ 6 Sya’ban 1391 H, Tuan Guru Reteh sang pelopor berdirinya institusi pendidikan Nurul Wathan di Indragiri bagian Selatan menghembuskan nafas terakhir dalam usia 58 tahun.
Jenazahnya di makamkan di Pasar Kembang Keritang, sekarang kubah makamnya telah dipugar dan menjadi salah satu tujuan wisata religi.